
Usaha pelestarian sastra daerah perlu dilakukan karena di dalam sastra daerah terkandung warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang sangat
tinggi nilainya.
Upaya pelestarian itu bukan hanya akan memperluas wawasan kita terhadap sastra dan budaya masyarakat daerah yang bersangkutan, melainkan juga
pada gilirannya akan memperkaya khazanah sastra dan budaya masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, upaya pelestarian yang dilakukan itu dapat dipandang sebagai dialog antarbudaya dan antardaerah yang memungkinkan sastra daerah berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam usaha mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan.
Sehubungan dengan hal itu, Bagian Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta, di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional menerbitkan buku sastra anak-anak yang bersumber pada sastra daerah.
Cerita rakyat yang dapat membangkitkan kreativitas atau yang meÂngandung nilai luhur dan jiwa serta semangat kepahlawanan perlu dibaca dan diketahui secara meluas oleh generasi muda, terutama anak-anak, agar mereka dapat menjadikannya sebagai sesuatu yang patut dibaca, dihayati, dan diteladani.
Buku Sakuntala ini bersumber pada terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Tahun 1980 dengan judul Serat Sakuntala yang disusun
kembali dalam bahasa Indonesia oleh A. Sofyan.
Kepada Drs. Utjen Djusen Ranabrata, M.Hum. (Pemimpin Bagian Proyek), Budiono Isas, S.Pd. (Sekretaris Bagian Proyek), Hartatik (Bendahara Bagian Proyek),
serta Sunarto Rudy, Budiyono, Rahmanto, dan Ahmad Lesteluhu (Staf Bagian Proyek), saya ucapkan terimakasih atas usaha dan jerih payah mereka dalam menyiapkan naskah buku ini.
Ucapan terima kasih saya tujukan juga kepada Drs. Sutiman, M.Hum. sebagai penyunting dan Sdr. Gerdi W.K. sebagai pewajah kulit dan ilustrator buku ini.
Mudah-mudahan buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pembaca.
Kepala Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa
Dr. Hasan Alwi
Ucapan Terimakasih
Cerita Sakuntala adalah cerita yang bernuansa Hindu yang berasal dari daerah Jawa Tengah.
Dialihbahasakan ke dalam bahasa Belanda dari buku Sansekerta dengan kata pengantar dari R.H. Kern dan diterbitkan di Amsterdam oleh G.K. Tunke.
Kemudian, buku ini digubah ke dalam bahasa Jawa menjadi “Tembang Macapat” oleh R.M. Kartadirdja, yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka. Gubahan ini kemudian dialihbahasakan oleh Soeparmo ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 1980.
Tebalnya adalah 491 halaman.
Cerita Sakuntala mengandung ajaran bahwa dengan kesabaran, keteguhan pada ajaran agama, serta pertolongan Yang Mahakuasa, segala rintangan
dan cobaan akan dapat diatasi.
Oleh karena itu, cerita itu perlu dikisahkan kembali dengan bahasa Indonesia yang sederhana, lugas, dan mudah dipahami sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dihayati oleh anak-anak.
Penyusunan naskah cerita ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Dr. Hasan Alwi sebagai
Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dr. Yayah B. Lumintaintang sebagai Kepala Bidang Bahasa Indonesia dan Daerah, sekaligus pembimbing saya, dan Drs. Utjen Djusen Ranabrata, M.Hum sebagai Pemimpin Bagian Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta tahun 1999/2000 yang telah memberi kesempatan untuk menceritakan kembali cerita Serat Sakuntala ini.
Mudah-mudahan cerita ini bermanfaat bagi siswa dan seluruh masyarakat pembaca di Nusantara.
Penulis
Supported by
Kementerian Pendidikan, Riset, dan Kebudayaan Republik Indonesia
Shakuntala – This is the poignant love story of King Dushyanta and the beautiful Shakuntala.
Shakuntala and Dusyanta met in the forest, fell in love and got married but soon the King had to return to his kingdom.
Dushyanta left Shakuntala, who was pregnant at the time, with his ring as a symbol of his love. Immersed in thoughts of her husband, Shakuntala commited the grave misdeed of ignoring a visiting sage.
The enraged sage cursed her, saying the her beloved would forget her until she produced a token of recognition.
Shakuntala then went to Dushyanta’s court, but sadly, he didn’t recognize her and as she had lost the ring during her journey, she could not even prove her story.
Much later, upon finding the missing ring in the belly of a fish, Dushyanta remembered his lost love and was eventually reunited with her through his son Bharata who he met in the forest.