Sejak itu, setiap hari, mereka menengok Ibrahim di dalam gua.
Mereka datang pagi dan baru pulang sore.
Mereka tetap merasa takjub menyadari Ibrahim dapat tinggal sendirian di dalam gua.
Mereka merahasiakan hal itu.
Mereka tidak berani membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya sebelum peraturan Raja Namruz dihapuskan.
Ibrahim tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas.
Sewaktu dia mulai besar dan sudah mengerti sesuatu, dia bertanya kepada orangtuanya, ”Wahai Ibu, Bapak, siapakah yang menjadikan aku?”
Orangtuanya menjawab, “Yang menjadikan engkau adalah kami karena engkau lahir ke dunia ini sebab kami.”
“Lalu, siapa yang menjadikan kalian?” tanya Ibrahim semakin penasaran.
“Tentu saja kakek dan nenekmu, karena kami lahir disebabkan oleh mereka,” jawab ayahnya.
“Lalu, siapakah yang pertama-tama menjadikan kita semua?” tanya Ibrahim lagi belum merasa puas.
Orangtuanya tidak dapat menjawabnya karena mereka tidak mengenal Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Ibrahim selalu menanyakan siapakah yang menciptakan alam semesta ini.
Namun, tidak seorang pun yang dapat menunjukkan dan mengajarkan kebenaran kepadanya.
Pada malam hari, Ibrahim sering melihat bintang-bintang, lalu dia berkata, “Inikah Tuhanku?”
Kemudian, dia melihat bintangnya menghilang di balik awan hitam.
Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak akan bertuhan kepada sesuatu yang dapat menghilang.”
Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar cemerlang.
“Inikah Tuhanku?”
Namun, beberapa saat kemudian, bulan purnama itu lenyap.
“Kalau Tuhanku tidak memberiku petunjuk, tentu aku menjadi sesat.”
Pada waktu siang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar dan lebih bercahaya dibandingkan dengan semua yang pernah dia lihat sebelumnya.
“Oh, inilah Tuhanku yang sebenarnya, inilah yang paling besar.”
Namun, pada waktu malam matahari itu terbenam.
Dia pun berkata, “Aku tidak akan bertuhan kepada matahari yang dapat terbenam.”
“Aku hanya akan bertuhan kepada yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas. Aku tidak akan pernah mempersekutukan-Nya.” ***
فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
Falammā ra’asy-syamsa bāzigatan qāla hāżā rabbī hāżā akbar(u), falammā afalat qāla yā qaumi innī barī’um mimmā tusyrikūn(a).
Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”
(QS. Al An’am [6]: 78)
Sumber dan Kontributor
- Judul Buku: Kisah Teladan Nabi Ibrahim AS
- Seri: The Best Stories of Quran
- Penyusun: Kak Nurul Ihsan dan Rani Yulianti
- Ilustrasi: Dini Tresnadewi dan Aep Saepudin
- Penerbit: Erlangga for Kids
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Semua konten ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak/dishare/didownload/dikomersialkan/dicetak/dipublikasikan ulang dalam bentuk apa pun, tanpa izin tertulis dari penerbit dan admin elibrary.id.